Sabtu, 25 Oktober 2008

INDAHNYA BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Jika sesorang melihat apa yang telah dialami sang ibu dan segala penderitaannnya sewaktu ia mengandung anaknya hingga melahirkannya, tak diragukan lagi bahwasannya semua jerih payah kedua orang tua itu menuntut sang anak agar berbakti kepada mereka berdua. Sang anak wajib menghormati, menjalin ikatan dan memuliakan orangtuanya.
Tak terlukiskan lagi betapa kesulitan dan kepayahan yang telah dirasakannya selama mendidik anaknya dan memerlihara serta mengurus segala kebutuhannya semasa ia masih kecil. Demikian pula tak ternilai betapa kasih sayang sang ibu yang tulus jika sang anak telah dewasa. Tak kalah pula peranan sang ayah di dalam jerih payahnya mencari nafkah, karena mengemban kewajiban memelihara dan mengasuh serta memberi nafkah dan membiayai pendidikan anaknya.

Kedua orang tua sudah bersusah payah membesarkannya, mendidik dengan nilai-nilai Islam agar menjadi anak yang sholeh, memelihara kesehatan anaknya, memberi makan dan minum serta menjaganya siang dan malam, di saat sehat maupun sakit. Bahkan tak jarang orang tua harus mengesampingkan kebutuhannya demi memenuhi kebutuhan sang anak. Dalam hal ini Al-Qur’an telah mengisyaratkan tentang kesukaran dan penderitanan ibu dan bapak di dalam mengasuh anaknya. Untuk itu Allah swt. Berfirman: „.Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya (pula) dengan susah payah…"(Qs. Al-Ahqaf : 46-15)

Betapa beratnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik dan membesarkan seorang anak hingga tumbuh dewasa, Dan tidaklah mudah membesarkan seorang anak sehingga ia bisa menjadi hamba Allah yang taat, sholeh dan patuh atas segala perintah Allah swt. Anak seperti inilah yang merupakan dambaan setiap orang tua. Karena selain sebagai perhiasan kehidupan dunia, anak yang sholeh juga merupakan perisai bagi kedua orang tuanya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Seorang penyair yang bijaksana mengatakan : "Karunia Allah atas hamba-hamba(Nya) sangat banyak. Dan yang paling agung ialah anak-anak yang mulia, mereka adalah perisai orangtua di dunia dan akhirat".

Kewajiban berbakti kepada kedua orangtua
Allah swt memintakan perhatian yang sangat terhadap hak kedua orangtua, sehingga perintah memuliakan itu ditempatkan dalam urutan langsung setelah perintah beribadah kepada Allah dan mengesakan-Nya. Diungkapkan dalam firman-Nya: „Beribadahlah kepada Allah dan jangalah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah terhadap ibu Bapak. (An-Nisa : 36).
Dalam hadits lain disebutkan ,Abdullah ibnu Mas’ud ra berkata: „Aku bertanya kepada Rasulullah saw. : "Amal perbuatan apakah yang paling disukai Allah ?" Rasulullah saw. Menjawab : "Shalat pada waktunya". Aku bertanya kembali "Kemudian apa lagi ? :"Berbaktilah pada kedua orang tua „. Aku bertanya lagi :"Kemudian apa lagi ? Rasulullah saw. Menjawab : "Berjihadlah di jalan Allah". (HR. Imam Bukhari ).

Kewajiban berbuat baik kepada orangtua termasuk menunaikan hak orang tua dan (kewajiban terhadap) mereka berdua, tetap mentaati keduanya dalam rangka taat kepada Allah swt, melakukan hal-hal yang membuat mereka berdua senang dan menjauhi berbuat buruk terhadap mereka.

Rasulullah saw. Telah bersabda : „Ingatlah akan kuberitahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar (diulang-ulang hingga tiga kali), yaitu menyekutkan Allah dan menyakiti kedua orang tua „(AlHadits).

Sekali-kali Allah tak akan suka terhadap anak yang membuat murka orangtuanya. Karena sesungguhnya murka orangtua adalah murka Allah juga. Dan barang siapa membuat Allah murka (karena membuat kemarahan orang tua), maka dia akan merugi dunia akhirat.

Beberapa perbuatan-perbuatan yang termasuk menyakiti Ibu dan Ayah antara lain membuat Orang tua Susah atau mencaci maki Ibu dan Ayah. Berbakti terhadap kedua orang tua merupakan suatu ketetapan, yang harus dilakukan selagi tidak menyangkut hal-hal yang mengharamkan barang yang halal atau menghalalkan barang yang haram. Karena sesungguhnya ketaatan terhadap makhluk itu tidak diperbolehkan apabila menyangkut masalah durhaka terhadap Sang Maha Pencipta. " Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah pada-Ku dan ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku lah tempat kembalimu." „Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, janganlah kamu ikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku, kemudian hanya kepadaKu lah kembalimu, maka akan Kuberitakan padamu apa yang telah kamu perbuat." (Luqman 14-15).

Pahala berbakti tidak terputus dengan matinya kedua Orangtua. Dalam suatu hadits dikatakan : „Tatkala kami sedang duduk di hadapan Rasulullah saw. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah- Lelaki itu bertanya:"Wahai Rasulullah, apakah baktiku terhadap kedua orangtuaku masih tetap ada (pahalanya), jika kulakukan sesuatu sebagai baktiku terhadap mereka berdua sesudah mereka tiada ?". Rasulullah menjawab :"Ya, masih ada, yaitu mendo’akan dan memohonkan ampunan untuk mereka; menunaikan pesan-pesannya, dan mengadakan silaturrahmi kepada orang-orang yang selalu dihubungi oleh kedua orang tuanya, serta memuliakan kawan-kawan dekat mereka. (HR. Abu Daud, Ibnu Mjah).

Berlaku lemah lembut terhadap kedua orang tua
Betapa besar kewajiban anak terhadap orang tua, sampai-sampai anak pun dilarang berpaling sedikit pun dari perintah orang tua, walaupun berkata ‘ah’.
Allah swt berfirman : ‘’Maka jangalah kamu katakan pada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, ucapkanlah pada mereka perkatan yang mulia. Rendahkanlah dirimu terhadap keduannya serta berdo’alah: ‘’ Wahai Robbku, kasihinilah kedua orang tuaku sebagaimana keduanya mengasihi aku diwaktu kecil". (Al Israa 23-24).

Termasuk juga dalam cara berbicara terhadap orang tua anak harus memperhatikan sopan santun.

Allah swt telah berfirman : „Dan ucapkanlah kepada mereka berdua perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan." (17:23-24).

Apakah yang dimaksud dengan „perkataan yang mulia dalam ayat diatas" ? Sa’id ibnul Musayyab menjawab: „Bagaikan bicaranya hamba sahaya yang berbuat kekeliruan, tehadap tuannya yang galak. Terlebih-lebih bila kita mempunyai orangtua yang sudah berumur, yang mana dituntut kesabaran dan ketelatenan tinggi dalam mengurus mereka.

Do’a untuk ayah dan Ibu
Sehubungan dengan kewajiban mendo’akan ibu dan ayah, Allah swt. Telah berfirman : „dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kalian jangan beribadah selian kepada dia dan hendaklah kalian berbuat baik pada ibu dan Ayah kalian dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-keduanya sampai berumur lanjut jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua denga penuh kesayangan dan ucapkanlah:"ya Rabbi, kasihinilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah menyantuni aku waktu kecil". (QS 17:23-24).
Perintah yang terkandung di dalam makna ayat ini menunjukkan wajib. Oleh karena itu anak harus mendo’akan untuk kedua orang tuanya agar mereka diberi rahmat oleh Allah. Sahabat Rasulullah bernama Sufya ra pernah ditanya seseorang: „Berapa kalikah do’a yang harus dipanjatkan pleh seseorang untuk kedua orang tuanya dalam sehari, atau satu bulan atau satu tahun ?" Sufya ra menjawab :"Kami kira cukuplah seandainya ia mendo’akan kedua orang tuanya pada akhir tahiyyat shalatnya."

Bentuk-bentuk Memuliakan Ibu dan Ayah
Di antara bentuk-bentuk yang luhur tentang berbakti pada kedua orangtua, ialah sebagaimana yang telah diceritakan oleh Al-Qur'an mengenai Nabi Ismail, yaitu tatkala ayahnya, Nabi Ibrahim berbicara kepadanya tentang perintah menyembelih dirinya : "...Ibrahim berkata : "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahya aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Nabi Ismail menyerahkan dirinya secara suka rela untuk disembelih oleh ayahnya; akan tetapi Allah swt. memuliakannya dan bahkan menggantikannya dengan seekor domba yang besar, seperti yang diceritakan oleh ayat berikut ini: "Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (Qs. 37-107).
Dan kisah lainnya yang menceritakan, bahwa pada suatu hari khalifah 'Umar ra. kedatangan seorang lelaki. Lelaki itu berkata kepada sang khalifah: "Sesungguhnya aku mengurusi ibuku sebagaimana ia mengurusiku semasa aku masih kecil. Apakah dengan demikian berarti saya telah menunaikan kewajibanku terhadapnya ?". Khalifah 'Umar ra. menjawab: "Tidak". Lelaki itu kembali bertanya: "Mengapa demikian". Khalifah 'Umar ra. menjawab: "Sesungguhnya ibumu mengurusi dirimu dengan harapan agar engkau hidup, sedangkan engkau negurusi dia dan engkau mengharapkan kematiannya.

Dari kisah diatas dapat diambil sebuah hikmah bahwa jasa seorang Ibu tidak dapat dibalas dengan jas anak terhadap dirinya. Walaupun sang anak sudah berusaha membalasnya dengan cara mengurusinya. Terlebih-lebih bagi anak yang enggan mengurusi orangtuanya yang sudah beranjak tua.

Demikianlah Islam memuliakan kedudukan orangtua dihadapan anaknya. ‘Abdullah ibnu Umar telah menceritakan suatu riwayat bahwasanya Rasulullah saw. Pernah bersabda : "Keridhoan Rabb terletak pada keridhoan kedua orangtua, dan kemurkaan Rabb terletak pada kemurkaan kedua orangtua". (HR. Turmudzi ).

Barangsuapa yang membuat ridhla kedua orangtuanya, berarti ia telah mendapat keridhoan Allah. Yang demikian itu adalahperisai dunia yang dapat memasukkan kedua orangtuanya ke surga.

Disadur dari:
Kepada Anakku Selamatlknalah Akhlakmu, Muhammad Syakir
Kewajiban dan hak Ibu, Ayah dan anak, Ahmad 'Isa 'Asyur.


BERBOHONG EMANG EMPUK TAPI SUSAH UNTUK TIDAK BERBOHONG

Saat ini Kejujuran sulit di dapati, mungkin karena banyak dari kita yang
kurang menghargainya, Kita lihat saat ini pemimpin sering tidak jujur dalam
penyelenggaraan negara sehingga merugikan kita sebagai rakyatnya, Pedagang
berbohong kepada Pembeli sehingga sering mengecewakan pembeli, pendidik
sering menggunakan kata-kata yang tidak benar dalam mendidik, sehingga akan
timbul generasi yang mengutamakan ketidak benaran.

Kenapa sih manusia itu suka berbohong? karena berbohong itu mudah, karena
dengan berbohong dia bisa menutupi kelemahan atau kekuranganya, Karena
dengan berbohong seseorang terhindar dari hukuman atau terhindar kelihatan
kekurangan atas dirinya. Tapi apakah kebohongan itu akan kekal dan membawa
bahagia, Saya yakin kebohongan tidak akan membawa kebahagian dalam hidup,
mungkin dengan berbohong anda selamat hari ini, tapi anda akan terus
dihantui rasa bersalah seumur hidup anda dimana anda takut kalau kebohongan
yang anda buat terbongkar, apa lagi kalau hal itu menyangkut hal yang besar,
mungkin anda takut hal tersebut bisa berakibat Fatal.

Adakah yang namanya bohong baik, banyak orang yang mengatakan bahwa dia
terpaksa berbohong untuk kebaikan, tapi menurut saya sekali berbohong tetap
berbohong, tidak ada namanya bohong yang baik, mungkin akan lebih baik kita
mengungkapkan suatu kebenaran walau kebenaran itu memang sulit dan pahit,
tetapi anda telah berjiwa besar, untuk melakukanya dan anda tidak harus
menutupi kebohongan seumur hidup anda.

Perlu diingat sekali kita berbohong itu tidak akan cukup, kenapa, karena
sekali berbohong tentang suatu hal pasti kita akan merambat ke hal-hal yang
lain, jadi mau tidak mau pasti kita akan terus berbohong, mau kah kita hidup
dalam kebohongan satu ke kebohongan yang lain. Kalau saya mengatakan tidak
mau, katakan salah itu salah dan benar itu benar, tidak ada daerah abu-abu.
kecuali orang yang berfikir tidak baik selalu melihat daerah abu-abu untuk
tujuan tidak benar.

Kejujuran adalah bahasa universal, agama apa pun, di tanah mana pun kita
berdiri, dan di waktu kapan pun kejujuran tetap berlaku. Namun nampaknya
keuniversalan tersebut semakin teralienasi, dimana justru saat ini yang
lebih sering dianggap biasa dan lumrah adalah ketidakjujuran. Di kantor,
rumah, persahabatan, rumah tangga semakin mudah ditemui warna-warna dusta
dengan berbagai ragam dan bentuknya. Dan justru pula disaat yang sama,
kejujuran menjadi barang langka dan seringkali dianggap aneh untuk kita
semua.

Pernah ingat nasihat orang tua saat kita kecil, pasti kita pernah mendengar
orang tua menasehati supaya harus menjadi orang yang jujur. Dalam mendidik
dan memotivasi supaya seorang anak menjadi orang yang jujur, kerap kali
dikemukakan bahwa menjadi orang jujur itu sangat baik, akan dipercaya orang,
akan disayang orang tua, dan bahkan mungkin sering dikatakan bahwa kalau
jujur akan disayang/dikasihi oleh Tuhan. terkadang terlontar pikiran nakal,
bagaimana orang tua menasihati anak untuk jujur sedangkan orang tua tidak
jujur dalam kehidupan pribadinya... kita mengajarkan jujur tetapi kita
sendiri berbohong....

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering melihat (bahkan juga ikut terlibat)
dalam berbagai macam bentuk aktivitas interaksi sosial dimasyarakat, yang
justru kebanyakannya adalah wujud realisasi dari sikap tidak jujur dalam
skala yang sangat bervariasi, seperti:

Sering terjadi, orang tua bereaksi spontan saat melihat anaknya terjatuh dan
berkata "Oh, tidak apa-apa! Anak pintar, enggak sakit, kok! Jangan nangis,
yah!". Menurut saya, dalam hal ini secara tidak langsung si-anak diajarkan
dan dilatih kemampuan untuk dapat "berbohong", menutup-nutupi perasaannya
(sakit) hanya karena suatu kepentingan (supaya tidak menangis). mungkin
seharusnya orang tua berkata "jangan menangis ya, sakit itu wajar nanti kita
obati agar lekas sembuh" agar kita mengjarkan kejujuran kepada anak kita.

Selain itu saya juga sering melihat dan mengalami kejadian seperti: Saat
seseorang bertamu kerumah orang lain, ketika ditanya: " Sudah makan,
belum?", walaupun saya yakin tawaran sang tuan rumah "serius" biasanya
dengan cepat saya akan menjawab "Oh, sudah!! Kita baru saja makan ", padahal
sebenarnya saya belum makan. mungkin kita bisa menjawab "Saya tidak lapar,
atau oh Nanti saja dirumah" kita cenderung berbohong untuk hal remeh seperti
ini bagaimana kita membiasakan jujur untuk hal besar, kalau hal kecil saja
kita berbohong

Dalam lingkungan usaha / dagang, kejujuran sering disebut-sebut sebagai
modal yang penting untuk mendapatkan kepercayaan. Akan tetapi sangat
kontroversial dan lucunya kok dalam setiap transaksi dagang itulah justru
banyak sekali kebohongan yang terjadi. Sebuah contoh saja: penjual yang
mengatakan bahwa dia menjual barang "tanpa untung" atau "bahkan rugi" hampir
bisa diyakini pasti bohong. mungkin pedagang bisa berkata, "maaf pak
harganya sekian saya beli, mungkin bapak mau kasih saya berapa, atau mungkin
tidak berkata apa-apa lebih baik dari pada harus berbohong.

Pernah membayangkan juka hidup di dunia ini tidak ada bohong Maka
dibayangkan pasti ketika tidak ada kebohongan maka akan tidak ada perusahaan
yang dirugikan oleh kecurangan pegawainya, negara tidak bangkrut karena ulah
para koruptor kelas kakap, tak ada keretakan rumah tangga karena senantiasa
terlindung oleh bingkai kejujuran, tidak ada pengkhianatan, tidak ada
kemunafikan, tidak ada bencana besar yang timbul akibat satu bentuk
ketidakjujuran yang terlalu sering dianggap sepele. Maka juga, bisa
dipastikan hari itu adalah hari yang sangat dirindukan oleh kita semua.
mungin tidak ya.. berharap itu semua bisa terjadi.... Dan saya akan
mengucapkan Terimaksih untuk tidak berbohong, kepada orang yang jujur.
"
... mudah- mudah kita semua diberikan kemudahan untuk selalu jujur

Rabu, 22 Oktober 2008

SEDEKAH DAN INFAK ITU MURAH ,TAPI BERAT

Barangkali kita pernah membaca artikel bahwa uang Rp 50 ribu terasa ‘ringan’ di mall tapi ‘berat’ jika berada di masjid. Ungkapan di atas tidak salah, bahkan terasa sangat menohok bagi kaum muslim. Mengapa aku katakan menohok? Karena, semestinya seorang muslim tidaklah perlu ragu dan takut untuk mengeluarkan BERAPAPUN uang untuk bersedekah dan berinfaq.

Aku sendiri, terus terang, terkadang masih ragu dan berat untuk mengeluarkan Rp 100 ribu untuk dimasukkan ke dalam kotak amal. Hanya pada event/acara khusus aku memasukkan lembaran merah itu, misalnya seperti saat Idul Adha, Idul Fitri, atau ada pengajian khusus. *termenung sedih*

Jika aku berani jujur, nampaknya aku masih belum bisa ikhlas untuk sepenuhnya mendedikasikan hartaku untuk agama. Masih terlalau banyak pertimbangan yg aku lakukan sebelum mengeluarkan uang. Meski seringkali aku berusaha usir kekhawatiran ini, namun seringkali pula aku ‘kalah’ melawan hal ini.

Aku hanya berharap, jangan sampai aku terkena penyakit cinta dunia. Hal ini dikarenakan jika sudah terkena penyakit cinta dunia, bisa dipastikan cinta harta dan takut mati akan hinggap di dalam diriku. Dan ini jelas merupakan ancaman dan sinyal yang sudah berada di tahap yg ‘mengerikan’, karena ini berarti aku sudah terperangkap dalam jebakan setan sebagaimana yg sudah diingatkan Rasululloh SAW lebih dari 14 abad yg lalu.

Untuk menghilangkan cinta dunia dan takut mati, tentu ada caranya. Perbanyak ibadah, pelajari agama dengan baik, dekatkan diri (dan banyak bergaul) dengan orang2 berilmu (agama), berikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk orang lain, dan yang terlebih penting..PERBANYAK DAN BIASAKAN SEDEKAH DAN INFAQ! Yakinlah bahwa sedekah itu bermanfaat!

Karenanya, aku begitu iri dengan keberanian para sahabat di jaman Rasululloh SAW dan orang2 yang berani mengeluarkan hartanya di jalan ALLOH SWT. Mereka tanpa ragu mengeluarkan jutaan, puluhan juta, ratusan juta, bahkan semua hartanya demi agama Islam. Mereka begitu yakin dengan tindakan mereka. Keyakinan ini tentu saja tidak mungkin muncul begitu saja, namun gemblengan dan bimbingan agama yg terus menerus-lah yang bisa menumbuhkan keyakinan ini.

Nah, melalui artikel ini, aku mengajak anda semua untuk kembali banyak belajar agama, mendekatkan diri pada ALLOH SWT, bermanfaat bagi orang banyak, dan akhirnya memperbanyak sedekah dan infaq. Tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebajikan.

Hampir lupa, sedekah dan infaq itu murah sebenarnya. Tidak perlu uang Rp 100 ribu untuk bersedekah dan berinfaq, uang Rp 500 atau Rp 1000 juga bisa digunakan untuk bersedekah. Banyak senyum yg tulus kepada sesama, bisa menjadi sedekah.

Yang aku tekankan di sini adalah sedekah dg nominal yg ‘relatif besar’ (lebih dari Rp 20 ribu) akan terasa berat (dan mahal) jika kita tidak biasakan diri dengan sedekah yg nominal kecil terlebih dahulu.

Betapa mudah kita menghabiskan uang lebih dari Rp 20 ribu untuk makan di restoran cepat saji, namun kita begitu sulit memasukkan Rp 20 ribu ke kotak amal, karena kita senantiasa beranggapan uang Rp 20 ribut itu lebih ‘layak’ digunakan untuk makan di dunia daripada mempersiapkan diri di akhirat kelak.

Untuk menjadikan sedekah dan infaq itu murah, anggap saja kita nabung untuk keperluan kita di akhirat kelak.

Sementara, sedekah dan infaq akan terasa ringan jika kita sudah terbiasa. Karena itu, aku tulis di atas, biasakan diri kita untuk mulai sedekah dg nominal yg ‘murah’/kecil. Insya ALLOH lama kelamaan kita akan semakin terbiasa dan tidak merasa berat lagi untuk bersedekah dg nominal yg lebih besar.

Jadi, apakah sedekah itu masih mahal dan berat?

KETIKA TAWAKAL DISALAH ARTIKAN

Tawakal adalah sebuah kata yg cukup akrab di telinga kita, terutama karena tawakal ini cukup sering dilontarkan para khatib Jum’at dalah khutbah2 mereka. Bahkan, tawakal sudah menjadi kosa kata dalam percakapan sehari-hari.

“Sudah bu, tawakal saja…”
“Yg tawakal ya pak?”
*dan masih banyak percakapan sejenis lainnya*

Sebenarnya, apakah tawakal itu? Jangan-jangan pemahaman tawakal kita selama ini salah karena kita cenderung mencari mudahnya saja? Atau malahan kita sama sekali tidak mengerti apa itu tawakal?

Tawakal, berdasar penuturan Rasululloh SAW, adalah BERSERAH DIRI KEPADA ALLOH SWT SETELAH SEBELUMNYA BERIKHTIAR DAN BERUSAHA SEMAKSIMAL MUNGKIN.

Sebuah kisah yg menunjukkan arti tawakal, saya cukil dari sebuah hadits riwayat Ibnu Hibban. Seorang sahabat hendak beribadah, namun tidak mengikat untanya. Ketika Rasululloh SAW menegurnya, sang sahabat menjawab bahwa dia bertawakal kepada ALLOH SWT. Lantaran jawaban itu, Rasululloh SAW menjawab,”IKATLAH unta itu, baru bertawakal kepada ALLOH SWT.”

Tawakal semodel ini berarti tawakal yg mempunyai hubungan sebab akibat.

Sementara itu, ada juga tawakal ‘jenis’ lain, yakni kebalikan tawakal di atas, tawakal tanpa sebab akibat. Contoh dari tawakal ini adalah kematian atau musibah.

Untuk tawakal jenis kedua, tentu saja kita tidak bisa menghindar atau menyalahkan orang lain (apalagi kepada ALLOH SWT) atas kejadian yg kita alami. Terlebih misalnya, rumah kita kebakaran akibat kecerobohan tetangga kita. Di saat seperti inilah, tawakal mesti dilakukan.

Ucapkan “Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.” disertai dengan penghayatan yg sungguh2 sehingga keikhlasan akan menyelimuti batin kita.

Celakanya, masyarakat kita cenderung salah memahami tawakal. Tawakal yg seharusnya terkait sebab akibat dianggap sebagai tanpa sebab akibat. Akibatnya jelas, masyarakat kita mempunyai mental yg parah.

Contoh dari salah memahami tawakal:
“Ah, saya sudah miskin…tawakal saja saya sih.”

“Besok saja hendak ujian nih.”
“Sudah belajar?”
“Tidak…saya kan tawakal kepada ALLOH SWT.”

“Pak, kita punya hutang. Kapan kita mau bayar?”
“Sebentar…saya hendak berdoa kepada ALLOH SWT dulu. Minta petunjuk.”
*usai berdoa*
“Bagaimana pak, kapan kita lunasi hutang?”
“Saya bertawakal saja kepada ALLOH SWT.”
“Lho, jadi ga kerja cari uang?”
“Lha, saya kan sudah bertawakal?”

Demikianlah secuplik dialog yg terjadi di masyarakat kita. Anda mungkin tahu dialog2 di atas, baik yg mirip ataupun bahkan sama persis. Atau barangkali anda sendiri termasuk di antaranya?

Saudara-saudaraku, kesalahan memahami tawakal seperti yg terjadi di atas itu, yg membuat kita tidak pernah bisa maju. Padahal masyarakat muslim merupakan mayoritas di negeri ini, padahal Islam mengajarkan kemajuan (progresivitas), namun itu semua tidak nampak dan seakan tidak pernah ada.

Lantas, apa yg mesti kita lakukan?

Pertama, apabila ada suatu persoalan, kita cermati dahulu. Apakah persoalan ini termasuk yg ada sebab akibat, ataukah memang yg benar2 tidak ada kaitan sebab akibat?

Kedua, jika memang termasuk persoalan tanpa sebab akibat, maka sudah selayaknya kita benar2 berserah kepada ALLOH SWT. Sebaliknya, jika persoalannya adalah persoalan ‘duniawi’, maka KITA WAJIB BERIKHTIAR.

Ketiga, selama kita berikhtiar, iringi ikhtiar kita dengan doa. Panjatkan doa-doa yg menunjang. Misalnya kita berikhtiar mencari rejeki, maka iringi dengan doa minta rejeki yg halal dan banyak. Jika ikhtiar mendapatkan keturunan, maka perbanyak doa Nabi Zakaria as dan Nabi Ibrahim as, selain berusaha dengan melakukan hubungan suami istri dengan sehat.

Keempat, yg terakhir, setelah poin 1-3 sudah kita kerjakan, nah…barulah kita bertawakal. Serahkan semuanya pada ALLOH SWT. Karena DIA-lah yg berhak menentukan apakah semua ikhtiar dan doa kita akan dikabulkan. Jika belum dikabul, jangan menyerah untuk berdoa, karena doa merupakan salah satu senjata kaum Muslim.

PUASA SYAWAL

alhamdulillah…ALLOH SWT masih memberikan umur pada qt, sehingga qt masih bisa hidup di bulan Syawal ini. Bulan Ramadhan, bulan yg penuh rahmat, telah berlalu…namun itu bukan berarti qt tidak bisa beramal dan beribadah lagi. Nilainya mungkin tidak sebesar bulan Ramadhan, namun sesungguhnya fase setelah Ramadhan jauh lebih besar tantangan dan hambatan. Insya ALLOH jika qt berhasil, maka pada saat bertemu lagi dg Ramadhan, kualitas ibadah qt akan lebih baik karena sudah terbiasa mengamalkannya selama 11 bulan.

Oke, selesai pembukaannya ;) Kini aku akan tampilkan artikel ttg PUASA SYAWAL, agar rangkaian ibadah qt tidak terputus… :)

Dalil puasa Syawal adalah:

Dari Abu Ayyub rodhiyallahu anhu:
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.”
[Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]

Riwayat lain:
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun.”

Hukumnya adalah sunnah:
“Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syaafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:

1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
“Hari-hari ini (berpuasa Syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.”
[Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik:
Berkata Musa: ‘Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [ThooHaa: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan
“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/392]

So, mumpung masih pada ‘anget’ baru puasa Ramadhan, kenapa tidak diteruskan dg puasa Syawal?? ;)

MEMINTA DAN MENCINTA

Aku masih menekuri buku yang aku baca "kisah-kisah" sufi.suatu titik dimana cinta tak lagi dibatasi dengan badani, cinta bahkan lebih mencapai ruhani jika harus mencinta sang Maha Pencinta.pernah suatu ketika teringat kata-kata "Berdoa..berdoaa.. dan berdoaaaa... jika kamu butuh sesuatu" dan janji Allah selalu benar. Karena Allah Maha Benar. tapi, sisi lain aku ambil dari buku itu. Allah Maha segalanya, dia mencintai makluknya tanpa pamrih, bahkan begitu pemurahnya Allah. Hingga orang kafirpun diberi kecukupan. betapa tak ada yang menandinginya. lalu kita bertolak pada diri, apa yang telah diberikan untukNya. dan ketika langkah itu semakin jauh untuk menemui cintaNya, semakin kita tidak menginginkan sesuatu. semakin terabaikan apa yang namanya ingin, diri semakin disibukkan untuk bercengkrama dengan Allah, hati semakin disibukkan untuk merinduNya, bibir selalu bergetar memanggilNya, bahkan mata tak cukup kuat untuk mendongak karena terlalu malu sebab begitu diri terpenuhi cintaNya. untuk orang yang sedang mencintai, apa yang lebih bahagia selain dekat dengan yang dicintai. meski seluruh harta terkuras, jika memang untuk yang dicintai , apalah artinya ? semuanya mendatangkan kebahagiaan yang sangat, semuanya indah. ada lirik lagu "sepiring berdua, asal denganmu" itu baru cinta pada maklukNya, yang dengannya kita akan dituntut banyak berkorban. seperti yang terungkap dalam buku venus n mars"cinta bukanlah diberi..diberi...diberi melainkan memberi..memberi...memberi...." sekarang jika kita menemukan cinta yang kita selalu diberi..diberi...diberiii.... bahkan tak memohonpun diberi....bagaimana mungkin hati bisa berpaling!bagaimana mungkin cinta tak kan terpaut dalam. bagaimana kita tak rela untuk berkorban semuanya demi menggapai cinta itu. tapi apalah arti pemberiannya itu jika untuk bersamaNya saja sudah meluapkan kegembiraan yang sangat. apalah artinya barang ciptaannya jika denganNya saja kita sudah merasa sangat cukup bahkan berlebihan. ya ... sisi yang berbeda dari pemahaman sebelumnya. kini maluuu dalam hati bila harus meminta. masih seperti Rabiah dalam buku itu yang selalu berkata "Dia mengetahui apa yang aku butuhkan, kenapa aku harus mengingatkanNya" ...ya semoga bisa mencintai seperti sahabat-sahabatNya... dan bisa ikut dalam barisan kekasihNya. amien.